Konferensi Meja Bundar (KMB)

Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah satu pernyataan Roem-Royan adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO ( Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni pada tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik ataupun ekonomi.

Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs.Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Belanda dipimpin Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.

Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB adalah sebagai berikut.

  1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
  2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
  3. Antar RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
  4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
  5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 (Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan kedaulatan di negari Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberangan Lautan Mr. AM. J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink mendandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).


Persetujuan Roem-Royen

Persetujuan Roem-RoyenPersetujuan Roem-Royen. Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah Belanda dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota RI yang berkedudukan di Yogyakarta.

Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda.

Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Muh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.

A. Pernyataan Mr. Moh Roem.

  1. Mengeluarkan perintah kepada "Pengikut Republik yang bersenjata" untuk menghentikan perang gerilya.
  2. Bekerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Turut serta dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.

B. Pernyataan Dr. Van Royen.

  1. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
  2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
  3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
  4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
  5. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Dikutip dari:
Buku Bse IPS kelas IX
Sutarto, dkk.


Perundingan Renville

Perundingan Renville
Perundingan Renville. Perbedaan penafsiran isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Atas prakarsa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angakata Laut Amerika Serikat "USS Renville" yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.

Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.

1. Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).

2. Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.

3. Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.

Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti Belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia. (Bse IPS kelas IX)

Perundingan Linggajati

Perundingan Linggajati. Walaupun perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia - Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia - Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof. Schermerhorn.

Perundingan Linggajati
Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah genjatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panita yang di pimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesakatan di bidang militer sebagai berikut:




1. Genjatan senjata dilakukan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.

2. Dibentuk sebuah Komisi bersama Genjatan senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan genjatan senjata.

Dalam pencapaian kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakannlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal  10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggota-anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoedin, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris instimewa Inggris untuk Asia Tenggara.

Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.

1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.

2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.

3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Meskipun isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto. (dikutip dari buku bse IPS kelas IX)

Perundingan di Hooge Veluwe

Perundingan ini diadakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe Belanda. Ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati Soetan Sjahrir dan Van Mook pada perundingan kedua tokoh ini sebelumnya. Para delegasi dalam perundingan ini adalah :
Perundingan di Hooge Veluwe

1. Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI.

2. Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santoso yang mewakili Belanda, dan

3. Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.

Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda menolak memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatera tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia - Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.

Perundingan Sjahrir - Van Mook

Perundingan Sjahrir - Van Mook diprakarsai oleh pemerintah Inggris yang terus berupaya untuk mempertemukan Indonesia dengan Belanda bahkan kemudian ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk kepentingan ini, pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah.

Perundingan Sjahrir - Van Mook

Perundingan antara Indonesia dan Belanda ini dilakukan pada tanggal 10 Februari 1946. Pada waktu itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut.

1. Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan Kerajaan Belanda.

2. Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.

Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut.

1. Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.

2. Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada  suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.

Usul dari pihak Indonesia ini tidak diterima Belanda dan selanjutnya Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerjasama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan Belanda.

Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut.

1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatera.
2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.

Terima kasih telah membaca artikel "Perundingan Sjahrir -Van Mook" di atas. Semoga bermanfaat!
Sumber:
IPS untuk SMP/MTs Kelas IX
Sutarto, dkk
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Back To Top