Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh
pendidikan nasional. Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei1989. Ki Hadjar Dewantara aktif berorganisasi
bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij.
Setelah menamatkan sekolah selama masa pembuangan di Belanda, Ki Hadjar
Dewantara aktif dibidang jurnalistik.
Nama asli beliau adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat,
beliau kemudian mengganti namanya sendiri, kurang lebih pada waktu berusia 40
tahun dengan nama Ki Hadjar Dewantara, dengan menanggalkan gelar
kebangsawanananya. Hal ini (penggantian nama) dimaksudkan supaya ia dapat bebas
dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Sejak tahun 1921, Ki Hadjar Dewantara sepenuhnya terjun di dunia pendidikan
dengan menjadi seorang guru. Tahun 1992, Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah
sendiri yang diberi nama Taman Siswa. Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara
terkenal dengan semboyan “Tut Wuri Handayani” yang berarti mengikuti anak dari
belakang sambil membimbingnya. Semboyan Tut Wuri Handayani menjadi slogan
Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Atas jasa-jasanya di bidang
pendidikan, tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara dijadikan sebagai Hari Pendidikan
Nasional.
Peran Ki Hadjar Dewantara di bidang pendidikan tetap berjasa hingga kini demi
perkembangan pendidikan Indonesia agar kualitas penduduk Indonesia dapat terus
ditingkatkan. Ki Hadjar Dewantara juga dikenal sebagai aktivis pergerakan
kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum
pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Namanya diabadikan sebagai
salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya
diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia
dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada
28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959).
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan
pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut
ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara
lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam
dengan semangat antikolonial.
Aktivitas Pergerakan
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat merupakan tokoh pergerakan
nasional, Soewardi muda aktif di organisasi Boedi Oetomo sejak berdirinya tahun
1908. Beliau aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama
BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Selain aktif di Boedi Oetomo (Ejaan sekarang Budi Utomo), ia juga
menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda,
atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan
Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Pada waktu berusia 24 tahun, Ki Hadjar Dewantara ditangkap oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda Idenburg dan atas permintaanya sendiri akan diasingkan
ke Pulau Bangka. Namun akhirnya diasingkan ke Belanda bersama dengan Douwes
Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada tahun 1913. Ketiganya kemudian dikenal
sebagai Tiga Serangkai.
Oh ya, saya belum menyebutkan alasan kenapa Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan
diasingkan ke Belanda.
Adapun sebab penangkapan dan pengasingan atas Ki Hadjar Dewantara tersebut
adalah karena tulisan-tulisan beliau
"Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku
Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat
kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut
antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil,
tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah
menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa
inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Artikel ini ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara, pada waktu pemerintah Hindia
Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga termasuk pribumi (inlander),
untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913.
Pada masa pengasingan di Belanda tersebut, Soewardi aktif dalam organisasi
para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan
belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta
pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia
bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian
digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan
pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau
Perguruan Nasional Tamansiswa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di
kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa
berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Setelah Indonesia Merdeka Ki Hajar Dewantara, Pemerintah Republik Indonesia
diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia. Jadi beliau inilah yang menjadi
menteri pendidikan pertama di Indonesia.
Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas
jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November
1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di
Taman Wijaya Brata.
Refrensi:
Dari berbagai sumber
Labels:
Tokoh Indonesia
Thanks for reading Ki Hajar Dewantara. Please share...!
0 Comment for "Ki Hajar Dewantara"