Perlawanan Bangsa Indonesia

Perlawanan Bangsa Indonesia
Sejak bercokolnya kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia atau Nusantara kala itu telah menyebabkan berbagai reaksi keras dari rakyat Indonesia.

Benturan-benturan yang terjadi antara penjajah dan pribumi sering menyebabkan timbulnya pertentangan-pertentangan yang melebar menjadi peperangan terbuka.

Penyebabnya tiada lain karena berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara-negara penjajah ini terutama pada masa kolonial Portugis di Maluku dan penjajahan Belanda di hampir seluruh nusantara.


BACA JUGA : Reaksi Terhadap Kolonialisme Barat di Indonesia.


Pada kesempatan ini, kita akan membahas perlawanan bangsa Indonesia khusus terhadap penjajah Belanda di berbagai tempat di nusantara kala itu.


1. Perlawanan Rakyat Maluku


Berdasarkan konvensi London pada tahun 1814, kepulauan Maluku termasuk salah satu wilayah kekuasaan Inggris yang harus diserahkan kepada Balanda.

Itulah sebabnya kenapa Belanda kembali berkuasa di Maluku, setelah terusir dari tanah Maluku.

Kembalinya Belanda ke Maluku ini mendatangkan kemarahan rakyat.
Perlawanan Bangsa Indonesia

Rakyat Maluku selanjutnya menyampaikan protes di bawah pimpinan Thomas Matulessy. Mereka menyampaikan daftar keluhan rakyat kepada Belanda yang ditangani oleh 21 penguasa dari daerah Saparua dan Nusa Laut.

Daftar keluhan mengenai tindakan semena-mena pemerintah kolonial yang menyengsarakan rakyat ini di ajukan kepada Residen Van den Bergh.

Belanda ternyata tidak menggubris protes rakyat itu. Oleh sebab itu, rakyat Saparua dan Nusa Laut berniat melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda.

Gerakan rakyat ini kemudian pun mendapat dukungan dari rakyat Honimoa, Haruku, Ambonia, Seram, dan daerah lainnya.

Kemudian, pada tanggal 9 Mei 1817, rakyat Maluku di Saparua mengangkat Thomas Matulessy sebagai pimpinan gerakan perlawanan rakyat dengan gelar Pattimura. Ia dinilai memiliki kecakapan di bidang kepemimpinan dan militer.

Pada tanggal 15 Mei 1817, Pattimura dibantu oleh Anthonie Reebok, Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina, dan Kapitan Said Printah, mulai melakukan aksi perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Mulanya, mereka merampas perahu-perahu pos yang berada di pelabuhan Porto. Setelah itu mereka mulai menyerang Benteng Duurstede di Saparua. Banyak serdadu Belanda yang ditangkap dan dibunuh termasuk Residen Porto yaitu, van Den Berg.

Saat itu juga, Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku.

Gubernur van Middelkoop terkejut mendengar kejadian itu. Ia segera mengirim pasukan dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Beetjes. Pasukan ini didaratkan di Saparua pada 20 Mei 1817.

Akan tetapi, begitu mendarat, rakyat Saparua menyambutnya dengan serentetan tembakan. Dengan terpaksa pasukan Beetjes memutar haluan dan membelokkannya ke sebuah tikungan teluk di sebelah kiri benteng. Di tempat ini, lagi-lagi pasukan Beetjes kembali disambut serangan gencar.

Pasukan Beetjes menjadi kacau balau, sebaliknya rakyat Maluku semakin bersemangat. Belanda berusah mundur, tetapi pasukan Pattimura terus mengejarnya. Pada pertempuran tersebut, Mayor Beetjes tewas.

Belanda menempatkan kapal-kapal perangnya di perairan Saparua. Serangan segera dilancarkan dengan menembakkan meriam ke arah Benteng Duurstede secara terus menerus.

Pada tanggal 2 Agustus 1817, Belanda berhasil menduduki Benteng Duurstede, tetapi gagal menangkap Pattimura. Oleh sebab itu, Belanda segera melancarkan politik adu domba.

Belanda mengumumkan kepada khalayak bahwa bagi siapa saja yang bisa menginformasikan keberadaan Pattimura akan diberikan hadiah sebesar 1.000 gulden.

Ternyata, jerat Belanda mengenai sasaran, Raja Booi memberi tahu tempat persembunyian Pattimura. Belanda kemudian mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Pattimura di Bukit Booi.

Akhirnya pada tanggal 11 November 1817, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria.

:Pada 16 Desember 1817, Pattimura bersama dengan Anthonie Rheebok, Said Printah, dan Philip Latumahina, dijatuhi hukuman gantung di Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon dan disaksikan oleh rakyat.

Pemimpin perlawanan kemudian digantikan oleh Martha Christina Tiahahu, seorang pejuang wanita yang gigih. Namun sayang, dia juga berhasil ditangkap Belanda. Martha, kemudian meninggal dalam perjalanan menuju ke tempat pengasingan di Pulau Jawa.

Setelah kematian para pemimpin ini, maka berakhir juga perlawanan rakyat Maluku terhadap kolonial Belanda.

Kemudian, akibat pemberontakan ini, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan ketat. Rakyat Maluku, terutama rakyat Saparua, dihukum berat. Monopoli rempah-rempah pun diberlakukan kembali oleh pemerintah Belanda.

BACA : Kolonialisme Portugis di Maluku.


2. Perlawanan Rakyat Jawa


Perlawanan rakyat Jawa identik dengan perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda pada tahun 1825-1830.
Perlawanan Bangsa Indonesia

Siapakah Pangeran Diponegoro?


Pangeran Diponegoro, sewaktu kecil bernama Raden Mas Ontowiryo. Beliau putera tertua dari seorang selir Sultan Hamengkubuwono III.

Ilmu agama Islam begitu mendalam dipelajari oleh Pangeran Diponegoro, sehingga pada dirinya terbentuk karakter yang tegas, keras dan jihad.

Pangeran Diponegoro bergelar Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Kholifatullah Tanah Jawa (Raja adil pertama dari orang mukmin, pengatur agama, dan Khalifah Allah di Jawa).

Pangeran Diponegoro semenjak kecil diasuh oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng. Ketika terjadi ketegangan di Istana, Kanjeng Ratu Ageng meninggalkan istana dan diikuti oleh Pangeran Diponegoro ke Desa Tegalrejo, di sebelah barat Yogyakarta.

Namun demikian, Pangeran Diponegoro tetap memiliki peran dalam urusan pemerintahan yaitu bertugas dalam suatu dewan perwalian.

Tugas beliau ini mengakibatkan Belanda sangat tidak menyenangi Pangeran Diponegoro, karena dianggap dapat menghalangi cita-cita menguasai Kesultanan Yogyakarta.

Itu sebabnya, para pembesar Belanda selalu mencurigai dan tetap mengawasi setiap gerak-gerik Pangeran Diponegoro. Inilah kemudian yang menjadi awal dari benih permusuhan antara kesultanan Yogyakarta dan Belanda.

Adapun penyebab timbulnya perang Diponegoro digolongkan menjadi dua, yaitu sebab umum dan sebab khusus.

Sebab umum Perang Diponegoro antara lain:

  • Kekuasaan raja-raja di Yogyakarta dipersempit.
  • Golongan bangsawan dilarang menyewakan tanah kepada golongan swasta, bahkan diambil alih haknya.
  • Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
  • Berkembangnya kebudayaan Barat yang bertentangan dengan agama Islam.
  • Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak, sepeti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.
Sementara, sebab khusus terjadinya perang Diponegoro adalah rencana Belanda membuat jalan yang menerobos tanah Pangeran Diponegoro hingga membongkar makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.

Kepercayaan Belanda yang menjadi musuh dari Pangeran Diponegoro, Patih Danurejo IV (1813-1847), pada bulan Mei 1825, membuat jalan melalui tanah makam keluarga Diponegoro. Maka tak pelak lagi terjadi bentrokan antara pengikut keduanya.

Pada tanggal 10 Juli 1825 terdengar dentuman meriam Belanda di Tegalrejo. Peristiwa itu mengawali Perang Diponegoro.

Mendengar insiden pertempuran di Tegalrejo itu, pemerintah Belanda di Batavia segera mengirim Letnan Jenderal de Kock ke Surakarta. Di kota ini, de Kock mengumpulkan berbagai informasi dan mengatur strategi.

Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro, mendapat dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo.

Pada pertempuran awal, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan. Hal ini disebabkan sebagian tentara Belanda dikerahkan untuk memadamkan perlawanan di luar Jawa. Selain itu, pasukan Pangeran Diponegoro memiliki semangat yang tinggi untuk mengusir Belanda.

Pangeran Diponegoro selalu menggunakan taktik serangan gerak cepat dan berpindah-pindah markas.

Markas-markas yang pernah ditempati pasukan Pangeran Diponegoro adalah Serang, Plered, Dekso, Pengasih, dan Tegalrejo. Melalui taktik ini, Belanda seringkali menjadi lengah sehingga mendapatkan serangan secara mendadak.

Taktik inilah yang menyebabkan di medan pertempuran, Pangeran Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Beberapa daerah berhasil dikuasainya dan banyak pasukan Belanda menemui ajalnya.

Menghadapi kenyataan ini, de Kock segera mengirim surat kepada Diponegoro untuk berdamai. Dipoenegoro bersedia berunding asalkan de Kock menentukan waktu dan tempatnya. Tidak jelas alasannya, de Kock tidak mengirimkan jawaban. Oleh sebab itu, api perang kembali berkorbar. Tidak kurang dari 2.000 prajurit Belanda tewas di medan laga.

Dalam Perang Diponegoro, Belanda banyak mengalami kesulitan. Bahkan Belanda mengakui Perang Diponegoro adalah perang terberat dan memakan biaya yang besar.

Untuk menghadapi pasukan Diponegoro, Belanda melakukan strategi untuk memperlemah kekuatan musuh. Mereka mengangkat kembali Sultan Sepuh (Hamengkubuwono II). Ini bertujuan agar para bangsawan yang membantu Diponegoro kembali ke istana. Namun siasat ini gagal karena Sultan Sepuh tidak lama kemudian meninggal.

Kemudian, untuk mempersempit ruang gerak dan melumpuhkan perlawanan Pangeran Diponegoro, Jenderal de Kock (pada tahun 1827) menggunakan siasat Benteng Stelsel. Tujuan dari sistem benteng stelsel ini adalah:

  • mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro
  • memecah belah pasukan Diponegoro
  • mencegah masuknya bantuan untuk pasukan Diponegoro
  • bagi Belanda sendiri dapat memperlancar hubungan antara Belanda jika mendapatkan serangan dari pasukan Diponegoro
  • memperlemah pasukan Diponegoro.
Ternyata siasat benteng stelsel ini belum banyak memberikan hasil bagi Belanda meskipun, kedudukan pasukan Pangeran Diponegoro mulai terdesak.

Untuk itu, Belanda mendatangkan pasukan dari daerah lain dan melancarkan siasat mengajak para pembantu Diponegoro untuk berunding. 

Pada tahun 1828, Kiai Mojo pun memenuhi undangan perundingan dengan pihak Belanda. Namun perundingan tersebut tidak menemukan kesepakatan, seusai perundingan Kiai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Minahasa (Sulawesi Utara).

Pada tahun 1829, Pangeran Mangkubumi terpaksa tidak melanjutkan perlawanan karena usia lanjut. Demikian pula dengan tokoh muda, Sentot Alibasyah Prawirodirjo yang terbujuk Belanda dan akhirnya berhenti memerangi pasukan Belanda.

Namun semua siasati yang dilancarkan Belanda ini belum juga berhasil menangkap dan mengehentikan perlawanan Pangeran Diponegoro.

Untuk mempercepat berakhirnya perang, de Kock menyebarkan pengumuman yang berisikan pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro. Usaha ini pun mengalami kegagalan.

Akhirnya pada 28 Maret 1830, Belanda mengadakan tipu muslihat dengan mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding. Pangeran Dipoengoro menyutujuinya. Perundingan kedua pihak berlangsung di rumah Residen Kedu.

Perundingan berakhir tanpa menghasilkan kesepakatan apa-apa. Akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Semarang, kemudian diasingkan ke Batavia. Padahal sebelumnya, Jenderal de Kock telah berjanji bahwa jika perundingan gagal, Pangeran Diponegoro bebas kembali ke markasnya. Tapi, itulah penghianatan yang dilakukan oleh de Kock.

Pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponogoro dipindahkan ke Manado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan wafat di Makassar pada tanggal 8 Januari 1855.


3. Perlawanan Rakyat Sumatera Barat (Minangkabau)


Perang melawan Belanda yang terjadi di Sumatera Barat ini, dikenal dengan nama Perang Paderi. Perang ini berlangsung pada tahun1821 - 1837, dengan pimpinan pergerakan utama, Tuanku Imam Bonjol.
Perlawanan Bangsa Indonesia

Sebab terjadinya perang berawal dari perang saudara antara kaum Adat dan kaum Paderi yang terjadi pada tahun 1803 - 1821. Perang ini murni perang saudara karena pihak Belanda belum ikut telibat. 

Kaum Paderi adalah golongan pembaharu Islam di Minangkabau yang berusaha menghilangkan kebiasaan buruk yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti berjudi, menyabung ayam, dan meminum minuman keras. Sedangkan, kaum Adat adalah pihak yang menentang upaya kaum paderi ini.

Pertikaian kaum Paderi dan kaum Adat tidak dapat dielakkan. Kekuatan kaum paderi semakin besar setelah mendapatkan bantuan dari Tuanku Imam Bonjol. Pada pertempuiran di Tanah Datar, kaum Adat terdesak. Ini kemudian yang mendorong, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda.

Pada tanggal 10 Februari 1821 Residen Belanda, Du Puy mengadakan perjanjian dengan kaum Adat. Mereka bersekutu untuk menghancurkan kaum Paderi.

Untuk memperkuat kedudukan, Belanda mendirikan Benteng Van Der Capellen di Batusangkar dan Benteng De Kock di Bukittinggi.

Dengan berpihaknya Belanda pada kaum adat ini, maka berkobarlah perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.

Pada mulanya, pimpinan Paderi dipegang oleh Tuanku nan Renceh, kemudian oleh Datuk Bendaharo, Tuanku Pasaman, dan Malim Basa. Malim Basa inilah yang dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Adapun kaum Adat dipimpin oleh Dato' Sati.

Beberapa kali Belanda dan kaum Adat melancarkan serangan terhadap kaum Paderi, tetapi selalu mengalami kegagalan. Bahkan Belanda sering kali terseret ke dalam jebakan kaum Paderi.

Pada tahun 1825, berhubung dengan adanya perlawanan Pangeran Diponegoro di tanah Jawa, Pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan baru. Kekuatan militer Belanda terbatas dan harus menghadapi dua perlawanan besar yaitu perlawanan kaum Paderi dan perlawanan Diponegoro.

Karena itu, Belanda membujuk kaum Paderi untuk mengadakan perjanjian damai.

Perjanjian Masang pun dilakukan antara kaum Paderi dan Belanda, pada tanggal 15 November 1825 di Padang. Kedua belah pihak sepakat melakukan genjatan senjata, tidak saling menyerang dan menghormati batas-batas wilayah masing-masing.

Tentara Belanda kemudian ditarik dari Sumatra dan dipusatkan untuk menumpas perlawanan Diponegoro di Jawa.

Seperti biasa, Belanda menghianati isi perjanjian, tahu 1831 Belanda kembali menggempur kaum Paderi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ellout. Dia ini adalah pimpinan militer tertinggi di Sumatra Barat. Akibat serangan ini, Belanda berhasil merebut markas kaum Paderi di Bonjol.

Namun, serangan Belanda yang membabi buta ini, justru telah menyadarkan kaum Adat bahwa sesungguhnya Belanda ingin menguasai dan menindas rakyat Minangkabau. Setahun setelah itu kaum Adat akhirnya menggabungkan diri dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda.

Dalam menyikapi perang yang berlarut-larut, Gubernur Jenderal Van den Bosch mengirimkan bala bantuan militer ke Padang pada pertengahan tahun 1832. Pasukan ini terdiri atas 3 kompi dengan perlengkapan beberapa meriam dan mortir.

Dalam pasukan ini, disertakan Sentot Alibasyah Prawirodirjo dan pengikutnya. Namun, ketika pertempuran meletus kembali, Sentot Alibasyah dan pasukannya membelot ke kaum Paderi. Hal ini disebabkan munculnya kesadaran pada dirinya bahwa kaum Paderi sebenarnya merupakan masyarakat pribumi yang berusaha membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

Pada tahun 1833, kaum Paderi berhasil merebut kembali kota Bonjol. Kemudian, Belanda pun melakukan politik adu domba. Belanda mengirim Sentot Alibasyah Prawirodirjo dan pasukannya untuk menghadapi kaum Paderi. Ketika inilah, muncul kesadaran dari Sentot Alibasyah Prawirodirjo dan bergabung dengan kaum Paderi, seperti yang telah kita sebut di atas.

Pembelotan Sentot Alibasyah segera diketahui pihak Belanda. Ia kemudian ditangkap dan diasingkan ke Bengkulu, sedangkan pasukannya dibubarkan dan dipulangkan ke daerah asalnya.

Pada tahun 1835, pasukan Belanda dapat mengalahkan pasukan kaum Paderi di Simawang. Beberapa pimpinannya berhasil ditangkap. Pejuang Paderi lainnya kemudian memusatkan pertahanannya di Bonjol. 

Akan tetapi, makin lama kekuatan kaum Paderi makin melemah. Kesulitan utama adalah ditutupnya jalan-jalan penghubung benteng Bonjol dengan daerah-daerah lain.

Sehingga pada waktu perang besar-besaran pada bulan Oktober 1837, pasukan Belanda berhasil menaklukkan benteng kaum Paderi di Bonjol dan berhasil merebut dan menguasai Bonjol secara keseluruhan.

Akhirnya, pada tanggal 25 Oktober 1837 Imam Bonjol menyerah dan ditangkap kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Dua tahun kemudian (1839) dipindah ke Ambon. Tahun 1841 kemudian dipindahkan lagi ke Manado dan dipenjara di sana sampai wafatnya pada tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun.

Dengan menyerahnya Tuanku Imam Bonjol bukan berarti perang telah usai walaupun tidak sehebat perang sebelumnya. Ini terbukti setelah Imam Bonjol, Tuanku Tambusi melanjutkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, walaupun perlawanan ini kemudian juga mengalami kegagalan.


Sekian dulu pembahasan kita tentang Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap kolonial Belanda, lain waktu pembahasan ini kita lanjutkan kembali. Terima kasih semoga bermanfaat.


Daftar Pustaka:

1. N. Suparno dan T.D. Haryo Tamtono. IPS untuk SMP/MTs kelas VIII, Kurikulum 2013, esis.
2. Ario Kartono, dkk. IPS untuk SMP/MTs kelas VIII, Teguh Karya, 2006.
3. Anwar Kurnia. IPS Terpadu 2 Kelas VIII SMP sesuai kurikulum 2013, Yudhistira.
4. Buku Panduan Pendidik IPS Terpadu kelas VIII, JP Book.
5. Sanusi Fatah, dkk. Buku bse IPS untuk SMP/MTs kelas VIII, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
6. Sri Sudarmi dan Waluyo. Buku bse Galeri Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SMP/MTs kelas VIII, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Labels: Sejarah

Thanks for reading Perlawanan Bangsa Indonesia. Please share...!

0 Comment for "Perlawanan Bangsa Indonesia"

Back To Top