Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda

Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda
Sebelumnya, saya sudah membahas sebuah bab yang berjudul Perlawanan Bangsa Indonesia, dan artikel yang sedang Anda baca ini merupakan kelanjutan dari materi tersebut.

Untuk itu Baca Juga: Perjuangan Bangsa Indonesia.


Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Penjajah Belanda


Perang Aceh ini merupakan peperangan yang berlangsung lama karena didukung secara fanatik oleh seluruh rakyat Aceh. Perang tidak hanya dihayati sebagai membela kerajaan, tetapi juga membela agama.

Perlawanan rakyat Aceh ini terus berlanjut, meskipun Belanda merebut Istana Kutaraja pada tahun 1877. Perang Aceh ini berlangsung dari tahun 1873 sampai tahun 1904.


Penyebab Terjadinya Perang Aceh


Pada tahun 1871, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Traktat Sumatra (Treaty of Sumatra).

Isi dari perjanjian Traktat Sumatra ini adalah Inggris memberikan kebebasan kepada Belanda untuk mengadakan perluasan ke seluruh Sumatra.

Perjanjian ini, membuka kesempatan bagi Belanda untuk mulai melakukan intervensi ke kerajaan Aceh.

Sementara bagi Aceh sendiri, lahirnya Traktat Sumatra ini, membuat Kesultanan Aceh berusaha memperkuat diri untuk menghadapi kemungkinan serangan Belanda dengan menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan negara-negara lain, terutama dengan Kesultanan Turki.

Pada tanggal 22 Maret 1871, Belanda mengutus F.N. Nieuwenhusyen untuk menemui Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ia menyampaikan surat yang berisi permintaan agar Aceh mengakui kedaulatan Hindia Belanda di wilayahnya.

Dua tahun kemudian, Belanda, pada tanggal 26 Maret 1873, menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh kerena Kesultanan Aceh tetap menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda di wilayahnya.

Kontak pertama pun berlangsung, antara 3.000 tentara Belanda yang datang dengan kapal-kapal perang di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler, dengan prajurit dan para ksatria Kesultanan Aceh.

Para pemimpin rakyat Aceh tersebut antara lain, Tengku Cik Ditiro (seorang ulama yang mengobarkan jihad), Panglima Polim, Teuku Cik Peusangan, Cut Mutia, Teuku Umar, dan istrinya Cut Nyak Dien.

Serangan pertama Belanda ini terjadi pada tanggal 5 April 1873. Sasaran serangan mereka yang pertama adalah Masjid Raya Baiturrahman di ibu kota Aceh.

Tentu saja para pejuang Aceh membalas serangan Belanda dengan sengit, tanpa mengenal kata menyerah.

Dalam pertempuran ini, pada tanggal 14 April 1873, pemimpin tentara Belanda, Mayjen. J.H.R. Kohler tewas di perkarangan masjid besar tersebut. Tewasnya panglima militer Belanda ini, menandakan kegagalan pertama Belanda menguasai Aceh.

Di bulan November pada tahun yang sama, Belanda kembali menyerang untuk kedua kalinya.

Kali ini Belanda mengerahkan tidak kurang dari 13.000 orang tentara, di bawah komando Letnan Jenderal van Swieten.

Serbuan Belanda di bawah pimpinan Letjen Swieten ini, disambut oleh laskar Aceh dengan tembakan senapan dan meriam bertubi-tubi.

Akhirnya, Belanda berhasil juga merebut Kutaraja (ibu kota Kesultanan Aceh) setelah lebih dari dua minggu pertempuran berkobar dengan hebat.

Istana pun berhasil direbut dan dikuasai Belanda. Namun, Sultan dan keluarganya berhasil menyelamatkan diri ke Leungbata.

Dengan jatuhnya istana, Belanda mengira perlawanan rakyat Aceh akan berakhir. Keyakinan ini semakin kuat, apalagi setelah van der Heyden menundukkan Aceh Raya. Atas dasar ini, mereka kemudian membentuk pemerintahan sipil di Aceh.

Namun ternyata, di luar istana, para teuku (bangsawan) dan tengku (ulama) terus menggembleng dengan semangat jihad kepada rakyat. Mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk menyerbu Belanda.

Pada masa itulah, muncul Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dien, ikut melakukan perlawanan terhadap penjajah ini.

Sementara itu, dipihak Belanda terjadi pergantian pimpinan dari Jenderal van Swieten kepada Jenderal Pel.

Ia berusaha memperkuat pertahanan dengan membangun sejumlah pos di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa.

Tanpa diduga sebelumnya, secara tiba-tiba laskar Aceh menerobos blokade Belanda dan melancarkan serangan hebat. Akibat serangan ini, pada 24 Februari 1876, Jenderal Pel tewas di daerah Tonga.

Kematian jenderal mereka ini, mengakibatkan pemerintahan Hindia Belanda merasa sangat terpukul. Dan segera mengirimkan ribuan pasukan dengan dukungan sejumlah kapal perang.

Walaupun begitu, Belanda tetap kesulitan dan menemukan kegagalan dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh ini.

Untuk menghadapi perjuangan rakyat Aceh yang semakin hebat ini, Belanda menerapkan suatu siasat yang disebut siasat pemusatan (konsentrasi stelsel) yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kotaraja.

Dengan demikian, Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Siasat ini pun gagal mematahkan perlawanan rakyat Aceh.

Kemudian atas usul Jenderal Deykerhoff, politik adu domba pun dilancarkan juga oleh Belanda.

Ketika inilah, Teuku Umar melakukan siasat dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda. Ia menyatakan diri tunduk dan setia pada pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak Agustus 1893.

Belanda amat senang menerima kehadiran Teuku Umar dan menempatkannya dalam sebuah dinas militer. Teuku Umar dipercayai memimpin sebuah pasukan yang berkekuatan 250 prajurit. Dari kolonial ia kemudian mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan.

Siasat tersebut dilakukan oleh Teuku Umar sebagai taktik masyarakat Aceh untuk mendapatkan persenjataan dan strategi perang Belanda.

Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar secara terang-terangan menyatakan diri keluar dari dinas militer Belanda dan menggalang kembali persatuan dan perlawanan terhadap Belanda.

Lagi-lagi, siasat Belanda, adu domba menemukan kegagalan pula.

Setelah berpikir cukup keras, akhirnya Belanda meminta bantuan dan memerintahkan kepada DR.  Snouck Hurgronje yang paham agama Islam untuk mengadakan penelitian tentang kehidupan dan budaya masyarakat Aceh.

Orang ini kemudian menyamar sebagai ulama yang bernama Abdul Gafar.

Akhirnya DR.  Snouck Hurgronje berhasil mengetahui kelemahan masyarakat Aceh dan hasil penelitiannya ini ditulis dalam buku yang berjudul De Atjehers.

Dalam bukunya itu, ia menyarankan agar pemerintah Belanda menggunakan siasat kekerasan dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Dan pemerintah Belanda harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang pemersatu, kekuatan terletak justru pada hulubalang dan ulebalang.

Pemerintah Belanda juga harus terus melakukan pengelompokkan dalam masyarakat sehingga kekuatan yang ada dapat dipecah belah. Hal itu disebabkan kekuatan masyarakat Aceh terletak pada kepemimpinan ulama dan kaum bangsawan.

Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman.

Serang-serangan tersebut dipimpin oleh Kolonel J.B. van Heutz dengan mengerahkan seluruh kekuatan pasukan Belanda yang diberi nama pasukan Marsose (pasukan gerak cepat).

Tanpa mengenal prikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Mereka menyerang dengan membabi-buta. Mereka menyerang suatu perkampungan kemudian menghancurkannya.

Semua tindakan keji ini dimaksudkan untuk melemahkan semangat perjuangan laskar Aceh. Dalam pikiran van Heutz, para pejuang Aceh tidak akan tahan melihat anak-anak, perempuan, dan orang tua menjadi korban peperangan.

Satu per satu para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang terjadi Meulaboh, Teuku Umar gugur. Istrinya Cut Nyak Dien tertangkap dan dibuang ke Sumedang (Jawa Barat).

Sementara Panglima Polim dan Sultan Muhammad Dawud Syah menyerah dan diikuti dengan jatuhnya Benteng Kuto Reh.

Kekalahan telak perlawanan rakyat Aceh ini, memaksa Sultan Muhammad Dawud Syah menandatangani Korte Verklaring (Plakat/Perjanjian Pendek) pada tahun 1904.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh mengakui dan tunduk atas kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Aceh juga bersedia tidak berhubungan dengan negara lain.

Biarpun secara resmi pemerintahan Hindia Belanda menyatakan perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak.

BACA: Kedatangan Kolonail Jepang di Indonesia.

Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan sampai menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
Labels: Sejarah

Thanks for reading Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda. Please share...!

0 Comment for "Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda"

Back To Top